Selasa, 26 Maret 2013

Bagaimana Serangan Buddha Atas Muslim Membantu Pemerintah Myanmar?

Oleh Russ Wellen :

Saat terjadi pergesekan antara pemeluk Budha – termasuk para biksu – yang mengangkat senjata melawan Muslim, Pemerintah Myanmar hanya berdiam diri.

Laporan Global Post tentang pecahnya kekerasan sektarian lain di Myanmar pekan ini yang menyebabkan “ribuan orang kehilangan rumah dan lebih dari 50 orang dipastikan tewas. Sementara gambar video dan foto yang diambil di tempat kejadian oleh media dan lembaga lokal menunjukkan bahwa tiga hari kerusuhan itu telah mengubah kota Meiktila yang terletak di selatan Mandalay dari ibukota Myanmar menjadi zona perang dimana rumah-rumah, masjid-masjid terbakar dan mayat-mayat manusia tidak bisa dikenali lagi. ”


Bagaimana komentar langsung tentang kekerasan itu ? Radio Free Asia mengatakan:
Sebagian orang percaya bahwa itu adalah persaingan bisnis yang sengit antara kaum Muslim dan Buddha di kota yang telah memberikan kontribusi terhadap kekerasan.

Lebih khusus lagi …
… Adalah karena pertengkaran antara pemilik sebuah toko emas yang muslim dan seorang warga Buddha dan istrinya yang pergi ke sana untuk menjual pin rambut terbuat dari emas, kata satu sumber polisi.
Perdebatan terjadi ketika barang yang hendak dijual itu kononnya rusak ketika sedang diperiksa keasliannya oleh pandai emas.

Ketegangan yang muncul pada kedua pihak yang dimulai dari tawar-menawar harga atas barang itu dan kononnya orang-orang di toko itu mengalahkan sang pelanggan, menyebabkan kegemparan di pertokoan itu, kata sumber itu.

Ketika kedua orang penduduk desa itu terluka, para simpatisan membakar toko tukang emas sehingga memicu kerusuhan massal, menurut sumber itu ….

“Masalah ini meletus karena masalah bisnis bercampur dengan agama,” kata Pinnyasiha, seorang biksu Budha Myanmar yang terkemuka yang dikenal sebagai Shwe Nya Wa Sayadaw. … Ditambah lagi dengan laporan yang tidak jelas bahwa konon ada seorang biksu Buddha terbunuh.

Emosi kaum Muslim di Myanmar masih tinggi karena “nasib Muslim Rohingya, yang dikatakan oleh kelompok HAM menanggung beban kekerasan di Rakhine pada bulan Juni dan Oktober tahun lalu yang telah menewaskan sedikitnya 180 orang dan puluhan ribu orang kehilangan rumah.”

Sebagai buntut dari insiden terbaru ini, pemerintah menyerukan keadaan darurat. Namun aparat keamanan melakukan sedikit atau tidak melakukan apapun untuk menghentikan serangan. Global Post mengatakan lagi.
… beberapa biksu secara terbuka menyerukan pemboikotan bisnis milik kaum Muslim – dimana atas seruan itu – tetapi pemerintah tidak mengambil tindakan sama sekali.

Lebih buruk lagi …
Myint Than, seorang saksi mata yang melihat tubuh-tubuh manusia yang hangus di kota itu kemarin, mengatakan bahwa polisi hanya berdiam diri ketika terjadi serangan pembakaran dan pembunuhan selama beberapa hari terakhir.

“Polisi mengatakan mereka tidak diperintahkan untuk menembak ….,” tambahnya.
Min Ko Naing, seorang pemimpin Kelompok Mahasiswa Generasi 77 yang berpengaruh, yang mengunjungi wilayah konflik pada hari Kamis, juga menyalahkan keengganan pasukan keamanan untuk menghentikan tindakan kekerasan yang mematikan itu. “Hal ini benar-benar tidak dapat diterima bahwa pasukan keamanan tidak mengambil tindakan apapun hanya karena mereka tidak diperintahkan untuk melakukannya,” katanya.
Lebih jauh lagi …

Beberapa pengamat menduga bahwa mantan jenderal yang berkuasa di pemerintahan dan tentara masih tetap kuat [meskipun Myanmar tidak lagi diperintah oleh junta resmi] dan sebagaimana biasa mencoba untuk mengalihkan perhatian publik dengan adanya kekerasan sektarian dan kebencian ini dari protes publik yang berkembang yang berasal dari keluhan yang sudah lama terjadi terhadap pelanggaran yang dilakukan tentara seperti perampasan tanah.

Yang Sesungguhnya
Myat Ko, seorang pejabat Sekolah Ilmu Politik Yangon, menuduh petinggi jenderal militer terlibat dalam bentrokan terbaru itu.

“Kami tidak memiliki bukti untuk membuktikannya. Namun ini terjadi di negara kami,” katanya. Menurut Dr.Maung Zarni, seorang rekan tamu di London School of Economics, tentara menciptakan kekacauan yang akan terus memperkuat sentralitasnya dalam politik.

Akhirnya, ini adalah hal yang cukup memberatkan.
Ketika menulis di halaman Facebook-nya, Zarni mengatakan, “Ada pola yang konsisten dan dikenali atas kekerasan yang terjadi: rencana tersebut ditularkan di tempat-tempat lain. Massa di desa-desa yang bersenjata digiring ke sebuah wilayah yang ditargetkan Kejadian seperti neraka akan pecah disitu, Semua Polisi dan militer … hanya berdiam diri menyaksikan hingga pekerjaan itu selesai dilakukan. Pemerintah setempat akan mengatakan mereka sedang menunggu perintah dari atas, yang tidak pernah datang. ” (fpif.org/rz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar