Sabtu, 30 Maret 2013

Syabab

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq9AWS313u77cqPI_nLeZplc6Atbp3DJSx9pSS2YIWmCFVcLjY4mfvq5a7OJyOyQ4pfqvOyG_ysWReJu_Pr-YlpruFpOUK6PujObU5lPMbP424vKCd7Ka5DhVl1Sm9i7YOYlhFGv-KeUff/s400/angkat-raya2.jpg 

Syabâb (jamak dari syâb[un]) sejatinya merujuk pada sosok muda secara fisik. Badannya  segar-bugar. Tenaganya besar. Tekad dan kemauannya kuat. Semangatnya membara. Harapan dan cita-citanya menjulang tinggi. Singkat kata, syabâb tentu identik dengan al-quwwah (kekuatan).

Sebaliknya, syuyûkh (jamak dari syaikh)  biasanya identik dengan orang yang sudah amat tua atau kakek-kakek yang secara fisik sudah tua-renta. Badannya rapuh. Tenaganya loyo dan melemah. Semangatnya berkurang. Tekad dan kemauannya menurun. Tak lagi punya banyak harapan dan cita-cita. Singkat kata, asy-syuyûkh identik dengan al-‘ajz (kelemahan).


Tentu, jika ukurannya fisik, demikianlah perbedaan antara syabâb dan syuyûkh, antara pemuda dan orang tua atau kakek-kakek yang sudah amat tua-renta.

Namun demikian, tak seharusnya membandingkan pemuda yang kuat dengan orang tua yang lemah dan renta dari sisi fisiknya semata-mata. Sebab, kekuatan dan kelemahan seseorang kadang bisa dibandingkan dari faktor kejiwaan dan semangatnya, terlepas apakah ia muda atau tua. Hal ini ada kaitannya dengan sabda Rasulullah saw., “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih Allah cintai daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah).

Menurut Imam an-Nawawi, yang dimaksud kuat di sini adalah kekuatan jiwa dan sikap dalam menjalankan berbagai urusan akhirat. Karena itu, seorang Mukmin yang memiliki sifat ini adalah yang lebih banyak berperang melawan musuh di medan perang; yang lebih cepat keluar menyambut seruan jihad; yang lebih kuat tekadnya dalam melakukan amar makruf nahi mungkar sekaligus yang lebih sabar dalam menanggung setiap kesulitan di dalamnya; yang selalu siap menanggung beban di jalan Allah; yang senantiasa merindukan untuk mendirikan shalat, shaum, zikir dan berbagai macam ibadah ritual lainnya serta selalu bersemangat di dalamnya sekaligus senantiasa berusaha memelihara ibadah-ibadah tersebut; dll (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, IX/19).

Hal senada diungkapkan dalam salah satu syarh hadis riwayat Ibn Majah ini. Disebutkan bahwa Mukmin yang kuat maksudnya adalah yang kuat dalam melakukan amal-amal kebajikan; yang kuat dalam menanggung kesulitan dalam ketaatan; yang sabar dalam menanggung bencana yang menimpa dirinya; yang memahami berbagai perkara yang bisa menunjukkan pada pengaturan dan kemaslahatan dengan selalu memperhatikan sebab dan memikirkan setiap akibat (Hasyiyah as-Sanadi ‘ala Ibn Majah, I/70).

Dalam lanjutan hadis yang sama, Rasulullah saw. juga bersabda, “Bersungguh-sungguhlah terhadap apa saja yang bermanfaat bagi kamu, selalulah engkau meminta tolong kepada Allah, dan jangan bersikap lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah).

Terkait hadis ini, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa maknanya, “Bersungguh-sungguhlah dalam ketaatan kepada Allah, hendaknya engkau senantiasa merindukan apa-apa yang ada di sisi Allah, selalu mencari perlindungan-Nya dalam ketaatan kepada-Nya; jangan bersikap lemah; jangan pula bersikap malas dalam ketaatan dan dalam memohon pertolongan kepada-Nya (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, IX/19).

Demikianlah makna sebenarnya dari kekuatan seorang Mukmin. Sifat kuat semacam ini tentu tidak selalu melekat pada sosok pemuda, tetapi bisa juga dimiliki oleh orang yang sudah tua-renta.

Karena itulah Hizbut Tahrir tentu punya alasan untuk menyebut para anggotanya dan para aktivisnya dengan sebutan ‘syabâb’; tak peduli apakah ia seorang remaja, pemuda, orang tua, atau kakek-kakek yang sudah renta sekalipun. Semua disebut ‘syabab’. Mengapa? Barangkali pernyataan  Syumaith bin Ajlan, seorang ulama yang berguru kepada para tabi’in, bisa memperkuat alasan di balik penyebutan syabâb  tersebut. Kata Syumaith bin Ajlan, sebagaimana dituturkan putranya, Abdullah bin Syumaith, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kekuatan seorang Mukmin ada di dalam hatinya dan tidak menjadikan kekuatan itu ada pada anggota tubuhnya. Bukankah engkau melihat ada orang tua-renta yang banyak melakukan puasa dan bangun malam, sedangkan banyak para pemuda tidak mampu melakukan hal yang sama?” (Shifat ash-Shafwah, III/231).

Karena itu, pada masa lalu, seorang Abu Sufyan, misalnya, meski saat itu usianya telah mencapai 70 tahun, masih layak disebut sebagai ‘syabâb’. Pasalnya, ia masih memiliki tekad yang kuat dan semangat yang membara hingga dalam usia setua itu ia tetap bersemangat melibatkan diri dalam peperangan jihad.

Dalam konteks dakwah, syabâb—yang  sejatinya adalah Mukmin yang kuat—adalah mereka yang senantiasa memiliki tekad yang besar dan kuat dalam berdakwah; senantiasa memiliki semangat membara dan menyala-nyala dalam melakukan kontak dakwah; selalu merindukan panggilan dan taklif-taklif dakwah; selalu memiliki harapan dan cita-cita menjulang tinggi dengan selalu berusaha menyadarkan dan merekrut sebanyak-banyaknya orang untuk sama-sama terlibat dalam dakwah.

Lalu bagaimana dengan ‘pengemban dakwah’ yang jiwanya rapuh dan lemah dalam berdakwah; semangatnya loyo dan melemah saat melakukan kontak dakwah; tekad dan kemauannya menurun saat ada panggilan dan taklif-taklif dakwah;  harapan dan cita-citanya pun kurang sehingga tidak ada gairah untuk melakukan kontak dakwah sekaligus merekrut orang-orang untuk sama-sama terlibat dalam dakwah? Masih layakkah ia menyandang sebutan ‘syabâb’?

Jawaban pastinya tentu ada pada diri kita masing-masing. Kitalah yang bisa menilai apakah kita pantas dan layak dikategorikan syabâb pengemban dakwah ataukah tidak. Jika ya, sepantasnya kita bersyukur kepada Allah SWT. Jika tidak, selayaknya kita beristighfar karena kelemahan dan ketakberdayaan kita menjalankan aktivitas dan tanggung jawab dakwah sesungguhnya karena ‘ulah’ kita sendiri. Padahal boleh jadi kita sedang dalam kesehatan dan kekuatan fisik yang prima, juga dalam keluasan rezeki dan kelapangan waktu. Jika itu yang terjadi, sepantasnya kita malu jika masih ada orang yang menyebut kita sebagai syabâb; padahal faktanya kita—di  medan perjuangan dakwah—hanyalah ‘seorang tua-renta’ yang lemah, rapuh dan tak berdaya.

Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar/hti/bit]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar