Gerakan Wahabi (al-harakah al-wahhabiyyah)
dapat dianggap salah satu gerakan reformasi Islam yang berpengaruh
besar terhadap umat Islam sejak abad ke-18. (Al-Ja'bari, 1996). Gerakan
yang dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) memang dinilai
banyak pakar memberi kontribusi positif bagi umat Islam, misalnya
membuka pintu ijtihad, memurnikan tauhid sesuai pahamnya, dan memerangi
apa yang dianggapnya bid'ah dan khurafat. Bahkan Wahbah Zuhaili dalam
kitabnya Mujaddid Ad-Din fi Al-Qarn Ats-Tsani 'Asyar, menganggap Muhammad bin Abdul Wahhab adalah mujaddid abad ke-12 H. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Kaifa Hudimat Al-Khilafah hal. 14, juga mengakui Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang mujtahid dalam mazhab Hambali.
Namun sisi gelap dari gerakan ini juga harus
diungkap, khususnya dalam aspek politik. Menurut Abdul Qadim Zallum,
gerakan Wahabi telah dimanfaatkan oleh Muhammad bin Saud (w. 1765) untuk
memukul Khilafah Utsmaniyah dari dalam. Namun tindakan yang sudah dapat
disebut pemberontakan ini, menurut Zallum terjadi tanpa disadari oleh
para penganut gerakan Wahabi, meski disadari sepenuhnya oleh Muhammad
bin Saud. (Zallum, Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 14).
Tulisan ini hendak mengkaji kitab Kaifa Hudimat Al-Khilafah
(hal. 13-20) yang mengungkapkan upaya Muhammad bin Saud memanfaatkan
gerakan Wahabi untuk mengguncangkan Khilafah Utsmaniyah dari dalam.
Kajian akan dilengkapi dengan berbagai referensi lain yang relevan.
Persekongkolan Negara-Negara Eropa
Gerakan Wahabi dan penguasa Saudi muncul pertama kali
pada abad ke-18 di tengah kondisi yang kurang menguntungkan bagi
Khilafah Utsmaniyah, baik internal maupun eksternal.
Secara internal, kelemahan Khilafah mulai menggejala
pada abad ke-18 ini, disebabkan oleh buruknya penerapan hukum Islam,
adanya paham-paham asing --seperti nasionalisme dan demokrasi-- yang
mengaburkan ajaran Islam dalam benak umat Islam, dan lemahnya pemahaman
Islam yang ditandai dengan vakumnya ijtihad. (An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hal. 177).
Secara eksternal, negara-negara Eropa seperti
Inggris, Perancis, dan Italia telah dan sedang berkonspirasi untuk
menghancurkan Khilafah Utsmaniyah. Negara-negara Eropa itu berkali-kali
berkumpul dan bersidang membahas apa yang disebutnya Masalah Timur (al-mas'alah al-syarqiyyah, eastern question)
dengan tujuan untuk membagi-bagi wilayah Khilafah. Meski tidak berhasil
mencapai kata sepakat dalam pembagian ini, namun mereka sepakat bulat
dalam satu hal, yaitu Khilafah harus dihancurkan. (El-Ibrahimy, Inggris dalam Pergolakan Timur Tengah, hal. 27).
Agar Khilafah hancur, negara-negara Eropa itu melakukan serangan politik (al-ghazwuz siyasi)
dengan menggerogoti wilayah-wilayah Khilafah. Selain Rusia yang yang
telah mencaplok wilayah Turkistan tahun 1884 dari wilayah Khilafah,
Perancis sebelumnya telah mencaplok Syam (Ghaza, Ramalah, dan Yafa)
tahun 1799. Perancis juga telah merampas Al-Jazair tahun 1830, Tunisia
tahun 1881, dan Marakesh tahun 1912. Italia tak ketinggalan menduduki
Tripoli (Libya) tahun 1911. Sementara Inggris menguasai Mesir tahun 1882
dan Sudan tahun 1898. (An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hal. 206-207).
Demikianlah serangan militer telah dilancarkan Eropa
untuk menghancurkan Khilafah dengan cara melakukan disintegrasi
wilayah-wilayahnya satu demi satu. (Jamal Abdul Hadi Muhammad, Akhtha` Yajibu an Tushahhah fi Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah, Juz II/9).
Selain upaya langsung dari luar, berbagai cara juga
ditempuh oleh Eropa untuk menghancurkan Khilafah dari dalam. Menurut
Zallum ada empat cara yang digunakan, yaitu : pertama, menghembuskan paham nasionalisme. Kedua, mendorong gerakan separatisme. Ketiga, memprovokasi umat untuk memberontak terhadap Khilafah. Keempat, memberi dukungan senjata dan dana untuk melawan Khilafah. (Zallum, Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 13; Abdur Rauf Sinnu, An-Naz'at Al-Kiyaniyat al-Islamiyah fi ad-Daulah al-Utsmaniyah, hal. 91).
Di sinilah Inggris menggunakan cara-cara tersebut
untuk memukul Khilafah dari dalam, melalui antek-anteknya Abdul Aziz bin
Muhammad bin Saud (w. 1830) yang memanfaatkan gerakan Wahabi. Upaya ini
mendapat dukungan dana dan senjata dari Inggris. (Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 13).
Hubungan konspiratif segitiga antara Inggris, Abdul
Aziz bin Muhammad bin Saud, dan gerakan Wahabi ini diuraikan secara
detail oleh Abul As'ad dalam kitabnya As-Su'udiyyah wa Al-Ikhwan al-Muslimun (hal. 15). Menurutnya, Abdul Aziz membangun ambisi politiknya atas dasar dua basis. Pertama, adanya dukungan internasional dari Inggris. Kedua, adanya dukungan milisi bersenjata dari gerakan Wahabi.
Dukungan Inggris terhadap Abdul Aziz ini terbukti
misalnya dengan adanya berbagai perjanjian rahasia antara Inggris dan
Abdul Aziz tahun 1904. Abul As'ad mengatakan,"Hubungan ini [Inggris dan
Abdul Aziz] semakin kuat dengan berbagai perjanjian rahasia antara dua
pihak tahun 1904, di mana Abdul Aziz menerima dukungan materi, politik,
dan militer dari Inggris yang membantunya untuk meluaskan pengaruhnya di
Nejed serta menguasai kota Ihsa` dan Qathif tahun 1913." (Abu Al-As'ad,
As-Su'udiyyah wa Al-Ikhwan al-Muslimun, hal. 16).
Adapun dukungan milisi dari gerakan Wahabi kepada
Abdul Aziz, telah terbentuk sebelumnya sejak tahun 1744 ketika terjadi
kontrak politik antara ayahnya (Muhammad bin Saud) dengan Muhammad bin
Abdul Wahhab. Kontrak politik ini berlangsung di kota Dir'iyyah,
sehingga sering disebut "Baiah Dir'iyyah" (Tarikh Al-Fakhiri, tahqiq Abdullah bin Yusuf Asy-Syibl, hal. 25).
Dengan kontrak politik itu, Muhammad bin Saud
mendeklarasikan dukungannya terhadap paham gerakan Wahabi dan
menerapkannya dalam wilayah kekuasaannya. Sedang gerakan Wahhabi yang
sebelumnya hanya gerakan dakwah kelompok, berubah menjadi gerakan dakwah
kekuasaan. Implikasinya, paham Wahabi yang semula hanya disebarkan
lewat dakwah murni, kemudian disebarkan dengan paksa menggunakan
kekuatan pedang kepada penganut mazhab lain, antara lain penganut mazhab
Syafi'i. (Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 16).
Pemberontakan Penguasa Saudi dan Wahabi Terhadap Khilafah
Dengan dukungan dana dan senjata dari Inggris,
penguasa Saudi dan kaum Wahabi bahu membahu memerangi dan menduduki
negeri-negeri Islam yang berada dalam kekuasaan Khilafah. Dengan
ungkapan yang lebih tegas, sebenarnya mereka telah memberontak kepada
Khalifah dan memerangi pasukan Amirul Mukminin dengan provokasi dan
dukungan dari Inggris, gembongnya kafir penjajah. (Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 13).
Penguasa Saudi dan Wahabi telah menyerang dan
menduduki Kuwait tahun 1788, lalu menuju utara hingga mengepung Baghdad,
menguasai Karbala dan kuburan Husein di sana untuk menghancurkan
kuburan itu dan melarang orang menziarahinya. Pada tahun 1803 mereka
menduduki Makkah dan tahun berikutnya (1804) berhasil menduduki Madinah
dan merobohkan kubah-kubah besar yang menaungi kuburan Rasulullah SAW.
Setelah menguasai Hijaz, mereka menuju ke utara (Syam) dan mendekati
Hims. Mereka berhasil menguasai banyak wilayah di Siria hingga Halb
(Aleppo). (Muwaffaq Bani Al-Marjih, Shahwah ar-Rajul Al-Maridh, hal. 285).
Menurut Zallum, serangan militer ini sebenarnya
adalah aksi imperialis Inggris, karena sudah diketahui bahwa penguasa
Saudi adalah antek-anek Inggris. Jadi, Inggris telah memanfatkan
penguasa Saudi yang selanjutnya juga memanfaatkan gerakan Wahabi untuk
memukul Khilafah dari dalam dan mengobarkan perang saudara antar mazhab
dalam tubuh Khilafah.
Hanya saja, seperti telah disebut di depan, para
pengikut gerakan Wahabi tidak begitu menyadari kenyataan bahwa penguasa
Saudi adalah antek Inggris. Mengapa? Karena menurut Zallum, hubungan
yang terjadi bukanlah antara Inggris dengan Muhammad bin Abdul Wahhab,
melainkan antara Inggris dengan Abdul Aziz, lalu antara Inggris dengan
anak Abdul Aziz, yaitu Saud bin Abdul Aziz. (Kaifa Hudimat Al-Khilafah, hal. 14).
Mungkin karena sebab itulah, banyak para penganut
gerakan Wahabi --mereka lebih senang menyebut dirinya Salafi-- menolak
anggapan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab telah memberontak kepada
Khilafah Utsmaniyah. Banyak kitab telah ditulis untuk membersihkan nama
Muhammad bin Abdul Wahhab dari tuduhan yang menurut mereka tidak benar
itu. Contohnya kitab Tashih Khathta` Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah karya Asy-Syuwai'ir; lalu kitab Bara`ah Da`wah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab min Tuhmah Al-Khuruj 'Ala Ad-Daulah Al-Utsmaniyah karya Al-Gharib, juga kitab Kasyfu Al-Akadzib wa al-Syubuhat 'an Da'wah Al-Mushlih Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab karya Shalahudin Al Syaikh. Termasuk juga kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yang berjudul Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah karya Ash-Shalabi. (Pustaka Al-Kautsar, 2004).
Bahkan dalam buku yang terakhir ini, Ash-Shalabi
mencoba membangun konstruksi persepsi sejarah yang justru mengaburkan
fakta sejarah yang sesungguhnya. Ash-Shalabi mengatakan bahwa perang
antara Khilafah (yang diwakili oleh Muhammad Ali, yakni Wali Mesir)
melawan gerakan Wahabi pertengahan abad ke-19, adalah Perang Salib yang berbaju Islam. (Ash-Shalabi, Ad-Daulah Al-Utsmaniyah Awamil An-Nuhudh wa Asbab As-Suquth, hal. 623).
Maksudnya, Muhammad Ali dianggap representasi pihak
Salib karena dia dianggap antek Inggris dan Perancis, sementara gerakan
Wahabi dianggap representasi tentara Islam. Subhanallah, hadza buhtanun 'azhim.
Padahal, Muhammad Ali meski benar dia adalah antek
Perancis menurut Zallum tapi dia memerangi Wahabi karena menjalankan
perintah Khalifah, bukan menjalankan perintah kaum Salib. Jadi, perang
yang terjadi sebenarnya adalah perang antara Khilafah dan kaum
pemberontak yang didukung Inggris, bukan antara kaum Salib melawan
pasukan Islam.
Ada satu fakta sejarah yang diabaikan oleh para
penulis sejarah apologetik itu, yang mencoba membela posisi Wahabi atau
penguasa Saudi yang memberontak kepada Khilafah. Mereka nampaknya lupa
bahwa wilayah Hijaz telah lama masuk ke dalam wilayah Khilafah
Utsmaniyah. Sejak tahun 1517 M, Hijaz telah secara resmi menjadi bagian
Khilafah pada masa Khalifah Salim I yang berkuasa 1512-1520. Peristiwa
ini ditandai dengan pernyerahan kunci Makkah dan Madinah kepada penguasa
Khilafah Utsmaniyah. (Abdur Rauf Sinnu, An-Naz'at Al-Kiyaniyat al-Islamiyah fi ad-Daulah al-Utsmaniyah, hal. 89; Tarikh Ibnu Yusuf, hal. 16; Abdul Halim Uwais, Dirasah li Suquth Tsalatsina Daulah Islamiyyah, hal. 88).
Jadi, kalau Hijaz adalah bagian Khilafah, maka upaya
mendirikan kekuasaan dalam tubuh Khilafah, seperti yang dilakukan
penguasa Saudi dan Wahabi, tak lain adalah upaya ilegal untuk membangun
negara di dalam negara. Lalu kalau mereka berperang melawan Khalifah,
apa namanya kalau bukan pemberontakan?
Para penulis sejarah apologetik itu semestinya
bersikap objektif dan adil, tidak secara apriori berpihak kepada
penguasa Saudi atau gerakan Wahabi. Atau secara apriori membenci
Khilafah atau aktivis pejuang Khilafah saat ini. Allah SWT berfirman
(artinya) : "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al-Maaidah : 8).
Namun nampaknya justru bersikap adil sepertilah yang
paling sulit dilakukan oleh sejarawan, sejarawan manapun, khususnya
penulis sejarah sezaman (l'histoire contemporaine, contemporary history). Dalam ilmu sejarah, menulis sejarah sezaman ini adalah paling sulit bagi ahli sejarah untuk tidak memihak (non partisan).
Namun meski sulit, sejarawan seharusnya menulis secara obyektif,
sekalipun menulis tentang penguasa yang sedang berkuasa. (Poeradisastra,
2008). Wallahu a'lam.
DAFTAR BACAAN
Aal Syaikh, Shalahudin bin Muhammad bin Abdurrahman, Kasyfu Al-Akadzib wa al-Syubuhat 'an Da'wah Al-Mushlih Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, (ttp : tp), tt.
Abu Al-As'ad, Muhammad, As-Su'udiyyah wa Al-Ikhwan al-Muslimun, (Kairo : Markaz Ad-Dirasat wa Al-Ma'lumat al-Qanuniyah li Huquq al-Insan), 1996.
Al-Fakhiri, Tarikh Al-Fakhiri, tahqiq Abdullah bin Yusuf Asy-Syibl, (Riyadh : Maktabah Al-Malik Fahd), 1999.
Al-Gharib, Abdul Basith bin Yusuf, Bara`ah Da`wah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, (Amman : tp), tt.
Al-Ja'bari, Hafizh Muhammad, Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba'ts Al-Islami), Penerjemah Abu Ayyub Al-Anshari, (Solo : Duta Rohmah), 1996.
Al-Marjih, Muwaffaq Bani, Shahwah ar-Rajul Al-Maridh, (Kuwait : Muasasah Shaqr Al-Khalij), 1984.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, (Beirut : Darul Ummah), 2002.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad, Ad-Daulah al-Utsmaniyah 'Awamil an-Nuhudh wa Asbab as-Suquth, (ttp : tp), tt.
Asy-Syuwai'ir, Muhammad Saad, Tashih Khathta` Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, (Ttp : Darul Habib), 2000.
El-Ibrahimy, M. Nur, Inggris dalam Pergolakan Timur Tengah, (Bandung : NV Almaarif), 1955.
Ibnu Yusuf, Tarikh Ibnu Yusuf, tahqiq Uwaidhah Al-Juhni, (Riyadh : Maktabah Al-Malik Fahd), 1999.
Imam, Hammadah, Daur Al-Usrah As-Su'udiyah fi Iqamah Ad-Daulah Al-Israiliyyah, (ttp : tp), 1997.
Muhammad, Jamal Abdul Hadi, Akhtha` Yajibu an Tushahhah fi Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah, Juz II, (Al-Manshurah : Darul Wafa`), 1995.
Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Depok : Komunitas Bambu), 2008.
Sinnu, Abdur Rauf, An-Naz'at Al-Kiyaniyat al-Islamiyah fi ad-Daulah al-Utsmaniyah 1877-1881, (Beirut : Baisan), 1998.
Uwais, Abdul Halim, Dirasah li Suquth Tsalatsina Daulah Islamiyyah, (ttp : tp), tt.
Yaghi, Ismail Ahmad, Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah fi At-Tarikh Al-Islami al-Hadits, (Ttp : Maktabah Al-'Abikan), 1998.
Zallum, Abdul Qadim, Kaifa Hudimat Al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar