Pembatalan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Unbundling Vertikal dan Horizontal
tidak menghentikan upaya Pemerintah untuk melakukan privatisasi PLN.
Upaya Pemerintah untuk melakukan privatisasi PLN terus dilakukan.
Kebijakan terbaru adalah Statement Dir Keu pada PLN Kita Edisi 22-Januari 2013, bahwa PLN akan menjalankan Shared Service. Shared Service ini esensinya adalah Unbundling Fungsional, dalam melaksanakan Unbundling Fungsional ini PLN menggaet Accenture, yaitu perusahaan Konsultan Manajemen Global yang didirikan oleh Arthur & Andersen Consulting yang berpusat di Amerika Serikat. Kalau ini dibiarkan maka akan sempurnalah proses privatisasi listrik dengan kedok unbundling. Karena itulah kita perlu memahami esensi unbundling yang dilakukan oleh PLN dan bahaya bagi kemaslahatan rakyat.
Jalan Panjang Menuju Privatisasi
Privatisasi merupakan pesanan IMF yang tertuang dalam Letter Of Inten
yang ditandatangani tanggal 31 Oktober 1997 pada butir 41 yang isinya
menyatakan Pemerintah RI berjanji untuk memprivatisasi Sektor Pelayanan
Publik. Setelah itu dibuat skenario untuk meloloskan pesanan IMF
tersebut melalui Kementerian Pertambangan dan Energi yang kemudian
menerbitkan “Buku Putih” pada Tahun 1998, yang isinya adalah roadmap liberialisasi ketenagalistrikan melalui tahapan Unbundling, Profitisasi dan Privatisasi.
Atas desakan IMF yang semakin kuat maka tahun 1999 Pemerintah RI
menerbitkan peraturan perundang-undangan sektor ketenagalistrikan yang
baru menggantikan UU kelistrikan tahun 1985. Isinya: mengamanatkan
liberalisasi sektor ketenagalisterikan. Tahun 2002 sesuai dengan Road Map yang telah dibuat diterbitkan UU No. 20 tahun 2002 tentang Unbundling Vertikal dan Horizontal
di PLN. Pesan privatisasi semakin jelas tertuang dalam UU No. 19 tahun
2003 yang salah satu pasalnya memuat bahwa restrukturisasi ditujukan
untuk mempermudah privatisasi. Untuk mempercepat proses tersebut Bank
Dunia menyetujui Loan sebesar US $141 juta untuk penerapan ERP SAP
di PLN Jawa Bali dan US $30 Juta untuk Sumatera dan Sulawesi. Program
tersebut isinya adalah integrasi data keuangan sehingga top management bisa melihat dan mengontrol kinerja keuangan perusahaan dengan lebih baik (profitisasi).
Akan tetapi, privatisasi ini agak terhambat karena tanggal 15 Desember
2005 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU no. 20 th 2002 tentang unbundling karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, walaupun UU No. 20
dibatalkan tidak berarti proyek privatisasi berhenti. Pemerintah
kemudian menerbitkan PP No. 3 Tahun 2005 tentang peraturan kebijakan
kelistrikan. Lalu tahun 2008 melalui RUPS PLN memutuskan membentuk
beberapa anak perusahaan distribusi di Jawa Bali, dan anak perusahaan
transmisi. Untuk menguatkan langkah-langkah yang telah diambil
Pemerintah menerbitkan UU Kelistrikan yang baru No. 30 Tahun 2009
sebagai pengganti UU No. 20 yang dibatalkan MK.
Unbundling=Privatisasi
Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009
Tentang Ketenagalistrikan ditetapkan pada tanggal 23 September 2009.
Penetapan UU 30/2009 ini dimaksudkan untuk menggantikan UU Nomor 15
Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan dan UU No. 20 yang dibatalkan
Mahkamah Konstitusi. Dengan pengesahan UUK 2009 ini, proses unbundling baik vertikal maupun horisontal kembali dilakukan oleh Pemerintah terhadap PLN. Unbundling vertikal bermakna pemecahan secara fungsi yaitu fungsi pembangkit, transmisi. dan distribusi. Lewat proses unbundling
vertikal ini kepemilikan pembangkit, transmisi, distribusi hingga
ritel/penjualan ke konsumen bisa dimiliki oleh swasta. Ketika unbundling
vertikal ini diterapkan pada suatu wilayah (usaha), misalnya Jawa-Bali,
maka pada wilayah tersebut akan muncul banyak operator, baik operator
pembangkit, operator transmisi, maupun operator distribusi;
masing-masing dalam bentuk badan usaha yang terpisah sehingga muncullah
banyak penjual maupun pembeli tenaga listrik (Multi Buyer and Multi Seller System=MBMS). Tidak menutup kemungkinan terjadi praktik kartel antaroperator sehingga bisa menaikkan tarif listrik sekehendak mereka.
Adapun Unbundling Horizontal
adalah pemecahan perusahaan berdasarkan geografis atau kewilayahan.
Direncanakan PLN akan dibagi menjadi 3 kewilayahan yatiu DIT OP Jawa
Bali, DIT OP Indonesia Barat dan DIT Indonesia Timur. Tujuannya adalah
agar setiap wilayah kelistrikan dapat di kelola oleh Pemda, sesuai
semangat OTTODA. Untuk itu sebelum pengelolaan diserahkan ke Pemda, PLN
saat ini mulai melakukan Restrukturisasi Korporat, yaitu dengan
membubarkan Kantor Cabang di Wilayah PLN Luar Jawa, dan menggantinya
dengan Area Jaringan, yang hanya berkompeten mengurus jaringan saja.
Untuk retail, di setiap kabupaten didirikan kantor rayon yang mengurus
retail tersebut. Pemda sangat berpeluang dan bebas untuk bekerjasama
dengan swasta.
Dari sisi harga jual sebenarnya tidak
ada perbedaan antara UU No. 20 yang dibatalkan oleh MK dan UU No. 30
Tahun 2009. Dalam UU No. 20 Tahun 2002 disebutkan bahwa harga jual
tenaga listrik di sisi pembangkit tenaga listrik dan harga jual tenaga
listrik untuk konsumen didasarkan pada kompetisi yang wajar dan sehat.
Adapun dalam UU No. 30 Tahun 2009 disebutkan bahwa harga jual tenaga
listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat.
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan
tenaga listrik.
Untuk menyempurnakan proses privatisasi dengan kedok unbundling, pada Tahun 2012, tepatnya Tanggal 18 Desember 2012, Direksi PLN melakukan meeting
dengan ICON (anak perusahaan PLN) yang bekerjasama dengan Accenture,
yaitu perusahaan Konsultan Manajemen Global yang didirikan oleh Arthur
& Andersen Consulting yang berpusat di Amerika Serikat. Saat ini
perusahaan tersebut tercatat di bursa efek New York. Hasil dari meeting itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Keuangan PLN pada bulan Januari 2013, bahwa PLN akan menjalankan Shared Service yang tidak lain esensinya adalah Unbundling Fungsional. Intinya,
Kegiatan PLN akan dibagi menjadi dua fungsi: (1) Fungsi Teknis meliputi
Pembangkit, Transmisi dan Distribusi; (2) Fungsi Administrasi meliputi
Keuangan dan Akuntansi, SDM, IT dan Niaga. Model Share Service seperti yang disampaikan oleh Icon dan Accenture adalah murni penekanannya secara kritis pada: berbagi tanggung jawab untuk hasil akhir, pelayanan demi kepuasan klien yg optimal, dan penetapan hubungan “komersial” dengan para pelanggannya. Jika Shared Service ini dilaksanakan, sempurnalah Privatisasi PLN ini melalui Unbundling Vertikal, Horizontal dan Fungsional.
Walaupun namanya masih Perusahaan
Listrik Negera (PLN), hampir sebagian operasinya dijalankan oleh pihak
swasta dan hasilnya seperti yang terjadi di Filipina. Sesuai kesaksian
dari Louis Corral, anggota parlemen Filipina di MK, akibat privatisasi kelistrikan dengan model “unbundling”
(seperti Indonesia) maka harga listriknya termahal di dunia yaitu
sekitar Rp 3500,- per kwh. Hal yang sama juga terjadi di Kamerun –
sesuai kesaksian Prof. David Hall, dari University of Greenwich,UK, di MK. Akibat “unbundling vertikal” maka pada saat “peak load” atau beban puncak terjadi “overpricing” tarif listrik hingga 10-15 kali lipat dari tarif listrik kondisi normal.
Alasan Klasik Privatisasi
Privatisasi dengan model unbundling
yang dilakukan oleh Pemerintah dibungkus dengan tujuan manis, yaitu
meningkatkan efesiensi dan transparansi serta mengurangi subsidi listrik
sehingga bisa menghilangkan korupsi di tubuh PLN. Padahal masalah
efisiensi dan transparansi serta meningkatnya subsidi adalah sebagian
besar disebabkan masalah teknis yang sangat bergantung pada kemampuan
manajerial dan kememimpinan PLN serta faktor luar PLN.
Tidak efisiennya pengelolaan energi
listrik memang diakui manajemen PLN. Berdasarkan Laporan Keuangan PLN
2009, biaya terbesar PLN adalah biaya pembelian bahan bakar (56%),
pembelian listrik dari pihak swasta (19%) dan biaya penyusutan (9%).
Dari total pembelian bahan bakar senilai Rp 76 triliun, 63% digunakan
untuk membeli BBM dengan harga internasional (MOPS) dan sisanya untuk
batu bara (16%), gas (10%) dan panas bumi (2%). Padahal penggunaan gas
dan batu bara jauh lebih murah dari BBM. Jadi salah satu sumber inefisiensi
yang terjadi pada tubuh PLN di antaranya dipicu oleh regulasi minyak
dan gas. UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas terutama pasal 22 telah
menyebabkan kelangkaan gas. Pasalnya, gas dari lapangan di dalam negeri
oleh perusahaan gas asing sesuai dengan UU itu lebih banyak diekspor
dibandingkan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Adapun dari sisi Manajemen PLN,
kebijakan yang jor-joran melakukan sewa diesel terutama pada masa Dahlan
Iskan menyebabkan diesel milik PLN jadi tidak dirawat/diperbaiki.
Pasalnya, sistem sewa membuat karyawan santai dan kurang peduli, juga
mengakibatkan pembangkit-pembangkit yang rusak tidak segera diperbaiki.
Regulasi Migas dan sewa genset yang tanpa perhitungan yang matang inilah
salah satu penyebab terjadinya inefisiensi. Bahkan pada masa
kepemimpiann Dahlan Iskan PLN mengalami kerugian (inefiseinsi) akibat
tidak mendapat pasokan gas sebesar 37,6 Triliun dan penyewaan genset
senilai 4 Triliun.
Inefisiensi juga terjadi karena PLN
membeli listrik dari pihak swasta dengan harga yang tidak rasional
seperti yang terjadi pada pembelian listrik dari PLTU Embalut. Harga
beli listrik oleh PLN dari PLTU Embalut ini tergolong tinggi dan tidak
wajar, yakni sekitar US$ 8.5 sen atau Rp 760 / kwh, sementara harga
beli listrik PLN dari PLTU Paiton hanya US$ 3.5 sen atau Rp 315/kwh.
PLTU Embelut ini sebelumnya adalah milik Dahlan Iskan, jadi ada indikasi
kolusi yang dilakukan oleh Dahlan Iskan yang menyebabkan terjadinya
kerugian PLN.
Inefisiensi juga disebabkan praktik
kolusi dan korupsi ditubuh PLN. Ketua Pendiri Indonesia Audit Watch
(IAW) Junisab Akbar menyebut Dahlan Iskan bertanggung jawab atas proyek
pemasangan dua kabel sepanjang 5 km dengan kapasitas masing-masing 100
megawatt (mw) guna menyuplai kebutuhan listrik di Bali dengan nilai
proyek mencapai Rp 451 miliar. Begitu juga proyek jaringan transmisi
PLN dari Jatim ke Bali yang dimenangkan oleh konsorsium dan bekerjasama
dengan dua perusahaan Cina menggunakan dana APBN. Namun, saat
ini proyek tersebut terlantar karena kontraktor asal Cina kabur
meninggalkan kontraknya.
Akibat inefisiensi yang terjadi di tubuh
PLN maka terjadi peningkatan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh
Pemerintah melalui dana APBN. Subsidi listrik selalu meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2010 sebesar Rp 57,6 triliun. Pada tahun 2011
naik menjadi Rp 65,6 triliun. Pada Tahun 2012 anggaran subsidi listrik
adalah Rp 80,9 triliun.
Faktor lain yang juga menyebakan kinerja
PLN buruk adalah besarnya utang yang dimiliki PLN. Pertumbuhan aset PLN
selama 10 tahun terakhir ditopang oleh kenaikan utang sebesar 582%
sehingga total utang PLN pada tahun 2012 menjadi Rp 286,4 T dari Total
Aset Rp 528,1 T. Adapun kebutuhan investasi rata-rata tiap tahun sebesar
Rp 50. T (belum termasuk IPP). Dana tersebut hanya mampu disediakan
oleh PLN Rp 15 T, dana APBN hanya Rp 5 T. Sisanya dari utang sebesar Rp
30 T pertahun. Karena PLN terjerat Utang maka kinerja PLN sudah di dikte
oleh pemberi utang baik terkait dengan kebijakan maupun terkait
pengadaan barang modal. Semua yang terjadi baik inefisensi, korupsi
maupun utang yang terjadi di tubuh PLN adalah sebuah skenario yang
sengaja dibuat untuk memuluskan proyek privatisasi yang menjadi
kebijakan para ekonom kapitalis.
Pengelolaan PLN Berbasis Syariah
Persoalan kelistrikan nasional saat ini
sebenanya berakar dari penerapan sistem ekonomi Kapitalisme yang
bertentangan dengan sistem Islam. Dalam pandangan Islam, listrik yang
digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ’api’ yang merupakan
barang publik. Termasuk dalam kategori tersebut adalah berbagai sarana
dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin
pembangkit, dan sebagainya. Nabi saw bersabda:
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلَإٍ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Apalagi sebagian besar sumber energi
dalam memproduksi listrik baik yang dikelola oleh PLN maupun swasta
merupakan barang-barang tambang yang juga merupakan barang publik
seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Pengelolaan barang publik dalam
sistem Islam hanya diwakilkan kepada Khalifah atau negara untuk dikelola
demi kemaslahatan rakyat sehingga tidak boleh dimiliki dan dikuasai
oleh swasta baik domestik apalagi asing. Oleh karena itu, ide atau
gagasan unbundling yang merupakan kedok dari privatisasi ini
harus terus ditolak karena bakal menghancurkan PLN dan tentu saja akan
merugikan rakyat dan negara. WalLahu a’lam. [Dr. Arim Nasim, M.Si. Ak.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar