Syabâb (jamak dari syâb[un])
sejatinya merujuk pada sosok muda secara fisik. Badannya segar-bugar.
Tenaganya besar. Tekad dan kemauannya kuat. Semangatnya membara. Harapan
dan cita-citanya menjulang tinggi. Singkat kata, syabâb tentu identik dengan al-quwwah (kekuatan).
Sebaliknya, syuyûkh (jamak dari syaikh)
biasanya identik dengan orang yang sudah amat tua atau kakek-kakek yang
secara fisik sudah tua-renta. Badannya rapuh. Tenaganya loyo dan
melemah. Semangatnya berkurang. Tekad dan kemauannya menurun. Tak lagi
punya banyak harapan dan cita-cita. Singkat kata, asy-syuyûkh identik dengan al-‘ajz (kelemahan).
Tentu, jika ukurannya fisik, demikianlah perbedaan antara syabâb dan syuyûkh, antara pemuda dan orang tua atau kakek-kakek yang sudah amat tua-renta.
Namun demikian, tak seharusnya
membandingkan pemuda yang kuat dengan orang tua yang lemah dan renta
dari sisi fisiknya semata-mata. Sebab, kekuatan dan kelemahan seseorang
kadang bisa dibandingkan dari faktor kejiwaan dan semangatnya, terlepas
apakah ia muda atau tua. Hal ini ada kaitannya dengan sabda Rasulullah
saw., “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih Allah cintai daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah).
Menurut Imam an-Nawawi, yang dimaksud
kuat di sini adalah kekuatan jiwa dan sikap dalam menjalankan berbagai
urusan akhirat. Karena itu, seorang Mukmin yang memiliki sifat ini
adalah yang lebih banyak berperang melawan musuh di medan perang; yang
lebih cepat keluar menyambut seruan jihad; yang lebih kuat tekadnya
dalam melakukan amar makruf nahi mungkar sekaligus yang lebih sabar
dalam menanggung setiap kesulitan di dalamnya; yang selalu siap
menanggung beban di jalan Allah; yang senantiasa merindukan untuk
mendirikan shalat, shaum, zikir dan berbagai macam ibadah ritual lainnya
serta selalu bersemangat di dalamnya sekaligus senantiasa berusaha
memelihara ibadah-ibadah tersebut; dll (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, IX/19).
Hal senada diungkapkan dalam salah satu syarh
hadis riwayat Ibn Majah ini. Disebutkan bahwa Mukmin yang kuat
maksudnya adalah yang kuat dalam melakukan amal-amal kebajikan; yang
kuat dalam menanggung kesulitan dalam ketaatan; yang sabar dalam
menanggung bencana yang menimpa dirinya; yang memahami berbagai perkara
yang bisa menunjukkan pada pengaturan dan kemaslahatan dengan selalu
memperhatikan sebab dan memikirkan setiap akibat (Hasyiyah as-Sanadi ‘ala Ibn Majah, I/70).
Dalam lanjutan hadis yang sama, Rasulullah saw. juga bersabda, “Bersungguh-sungguhlah
terhadap apa saja yang bermanfaat bagi kamu, selalulah engkau meminta
tolong kepada Allah, dan jangan bersikap lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah).
Terkait hadis ini, Imam an-Nawawi
menyatakan bahwa maknanya, “Bersungguh-sungguhlah dalam ketaatan kepada
Allah, hendaknya engkau senantiasa merindukan apa-apa yang ada di sisi
Allah, selalu mencari perlindungan-Nya dalam ketaatan kepada-Nya; jangan
bersikap lemah; jangan pula bersikap malas dalam ketaatan dan dalam
memohon pertolongan kepada-Nya (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, IX/19).
Demikianlah makna sebenarnya dari
kekuatan seorang Mukmin. Sifat kuat semacam ini tentu tidak selalu
melekat pada sosok pemuda, tetapi bisa juga dimiliki oleh orang yang
sudah tua-renta.
Karena itulah Hizbut Tahrir tentu punya alasan untuk menyebut para anggotanya dan para aktivisnya dengan sebutan ‘syabâb’; tak peduli apakah ia seorang remaja, pemuda, orang tua, atau kakek-kakek yang sudah renta sekalipun. Semua disebut ‘syabab’. Mengapa? Barangkali pernyataan Syumaith bin Ajlan, seorang ulama yang berguru kepada para tabi’in, bisa memperkuat alasan di balik penyebutan syabâb tersebut. Kata Syumaith bin Ajlan, sebagaimana dituturkan putranya, Abdullah bin Syumaith, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla
menjadikan kekuatan seorang Mukmin ada di dalam hatinya dan tidak
menjadikan kekuatan itu ada pada anggota tubuhnya. Bukankah engkau
melihat ada orang tua-renta yang banyak melakukan puasa dan bangun
malam, sedangkan banyak para pemuda tidak mampu melakukan hal yang
sama?” (Shifat ash-Shafwah, III/231).
Karena itu, pada masa lalu, seorang Abu
Sufyan, misalnya, meski saat itu usianya telah mencapai 70 tahun, masih
layak disebut sebagai ‘syabâb’. Pasalnya, ia masih memiliki
tekad yang kuat dan semangat yang membara hingga dalam usia setua itu ia
tetap bersemangat melibatkan diri dalam peperangan jihad.
Dalam konteks dakwah, syabâb—yang
sejatinya adalah Mukmin yang kuat—adalah mereka yang senantiasa
memiliki tekad yang besar dan kuat dalam berdakwah; senantiasa memiliki
semangat membara dan menyala-nyala dalam melakukan kontak dakwah; selalu
merindukan panggilan dan taklif-taklif dakwah; selalu memiliki harapan
dan cita-cita menjulang tinggi dengan selalu berusaha menyadarkan dan
merekrut sebanyak-banyaknya orang untuk sama-sama terlibat dalam dakwah.
Lalu bagaimana dengan ‘pengemban dakwah’
yang jiwanya rapuh dan lemah dalam berdakwah; semangatnya loyo dan
melemah saat melakukan kontak dakwah; tekad dan kemauannya menurun saat
ada panggilan dan taklif-taklif dakwah; harapan dan cita-citanya pun
kurang sehingga tidak ada gairah untuk melakukan kontak dakwah sekaligus
merekrut orang-orang untuk sama-sama terlibat dalam dakwah? Masih
layakkah ia menyandang sebutan ‘syabâb’?
Jawaban pastinya tentu ada pada diri kita masing-masing. Kitalah yang bisa menilai apakah kita pantas dan layak dikategorikan syabâb pengemban
dakwah ataukah tidak. Jika ya, sepantasnya kita bersyukur kepada Allah
SWT. Jika tidak, selayaknya kita beristighfar karena kelemahan dan
ketakberdayaan kita menjalankan aktivitas dan tanggung jawab dakwah
sesungguhnya karena ‘ulah’ kita sendiri. Padahal boleh jadi kita sedang
dalam kesehatan dan kekuatan fisik yang prima, juga dalam keluasan
rezeki dan kelapangan waktu. Jika itu yang terjadi, sepantasnya kita
malu jika masih ada orang yang menyebut kita sebagai syabâb; padahal faktanya kita—di medan perjuangan dakwah—hanyalah ‘seorang tua-renta’ yang lemah, rapuh dan tak berdaya.
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar/hti/bit]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar