Sekjen
Forum Umat Islam (FUI), KH. Muhammad Al-Khaththath menyayangkan sikap
pemerintah yang tidak sigap dalam mengungkap aksi teror pembantaian
terhadap 4 tahanan di LP Cebongan, Sleman Yogyakarta.
“Blok
A5 diisi 38 tahanan, empat di antaranya tahanan yang dititip dari Polda.
Diperkirakan membawa AK 47 yang diberondong ke atas. Empat orang dari
Polda itu disuruh berbaris terpisah lalu ditembak dan meninggal semua.
Lalu dibawa ke RSUP Dr. Sardjito,” ungkapnya. [voa-islam/]
Biasanya
aparat kepolisian begitu cepat mengungkap kasus penembakan dengan
mengerahkan anggota Densus 88. Namun, kali ini peran Densus 88 yang
menurut Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dipuji-puji dunia internasional itu
seolah tak bersuara.
“Kalau
pemerintah benar-benar beritikad baik ingin memberantas terorisme,
sebenarnya yang kemarin terjadi di Jogja itu kan yang benar-benar
teroris, harusnya itu yang ditangani oleh Densus, tapi kok ngga ada
bunyinya Densus itu?” kata KH. Muhammad Al-Khaththath usai menjadi
pembicara Semalam Bersama Dewan Dakwah, Sabtu (23/3/2012).
Sikap
aparat kepolisian, dalam hal ini Densus 88 jauh berbeda jika diduga
pelaku adalah umat Islam. Di Makassar dan Bima misalnya, mereka langsung
ditembak mati.
“Tapi
kalau kita lihat yang di Makassar, Dompu, Bima itu kan mereka penjual
kue, masa tiba-tiba dibunuh lalu dibilang teroris? Ini suatu kebohongan
yang nyata,” tandasnya.
Menurut
Sekjen FUI tersebut, aksi penyerangan LP Cebongan dengan menggunakan
senjata laras panjang dan membunuh 4 orang tahanan titipan, salah
satunya diketahui anggota polisi jelas bias dikategorikan aksi
terorisme.
“Jelas-jelas
mereka sudah membunuh bahkan polisi lagi yang dibunuh, itu teror kepada
seluruh instansi kepolisian. Artinya itu pesan kepada seluruh polisi;
Awas loh macem-macem sama korps gue, bisa gue bantai! Jadi kalau aksi
teroris yang seperti itu harusnya dilakukan penindakan,” paparnya.
Kronologi Kasus Penyerangan Lapas Cebongan
Untuk
diketahui, Direktur Keamanan dan Ketertiban (Dirkamtib) Ditjen
Pemasyarakatan Kemkumham, Wibowo Joko menjelaskan bahwa penyerangan
Lapas Sleman pada Sabtu (23/3) dini hari diduga bermotif dendam.
Diperkirakan, tewasnya salah satu anggota Kopassus, Sertu Santoso, dalam
kasus pengeroyokan di Hugo’s Cafe, pada Selasa (19/3/13) menjadi pemicu
penyerangan.
“Jadi
peristiwa itu disebabkan kejadian beberapa hari lalu ada keributan di
Cafe Hugo oleh empat orang. Salah satu dari mereka anggota polisi. Namun
seorang anggota Kopassus. Ia melerai keributan itu, tetapi ia meninggal
karena ditusuk,” kata Wibowo di Jakarta, kepada wartawan di Jakarta ,
Sabtu (23/3/13).
Namun,
keempat orang yang membuat keributan ditangkap polisi dan ditahan di
Lapas Sleman. Salah satu yang ditahan adalah Johannes Joan Manbait, yang
belakangan diketahui sebagai anggota polisi.
“Usai
peristiwa tersebut sejumlah orang mencari siapa yang menusuk. Setelah
itu, ketemu empat orang, salah satunya Johannes Joan Manbait. Dititip ke
lapas, Jumat (22/3) siang, kemudian dini hari tadi pukul 00:30 WIB
lapas diserang,” katanya.
Menurutnya,
penyerangan itu sebelumnya terjadi ketika seseorang tidak dikenal
mengetuk pintu lapas untuk kordinasi dengan tahanan. Tetapi karena pintu
tidak dibuka oleh petugas lapas, oknum berpakaian preman tersebut
mendesak untuk bertemu dengan kepala keamanan sebelum memasuki ruang
CCTV untuk menghilangkan alat bukti.
“Saat
datang kepala keamanan kemudian kepala keamanan ditendang dan dibanting.
Setelah itu muncul 20 orang. Dan kelompok itu pergi membawa petugas ke
penyimpanan kunci dan ruang CCTV dan dirusak,” terang Wibowo.
Wibowo
menyebutkan di antara mereka ada yang membawa senjata AK47 yang
beberapa kali ditembakkan ke udara. Mereka menginginkan lokasi blok
ditahannya empat orang pelaku pembunuhan Sertu Santoso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar