Nasionalisme. Ini adalah kata sakral
yang tabu untuk dibantah. Konon dengan semangat nasionalisme inilah,
para pahlawan rela bersimbah keringat perjuangan dan berlumur darah
pengorbanan, demi Indonesia merdeka. Maka dari itu, kobaran nasionalisme
harus selalu ada dalam dada anak bangsa. Siapa saja yang menentang
konsep ini, bersiaplah terkucilkan, teralienasi, karena dianggap anak
bangsa yang tak tahu terima kasih. Disangka penghianat karena menjadi
penghuni Indonesia, tetapi tidak cinta negeri sendiri. Apakah memang
sesederhana itu tafsiran nasionalisme?
Nasionalisme tak Sederhana yang Dikira
Pernah ada satu kisah. Tentang Sahabat Bilal bin Rabbah yang terjangkiti homesick,
sesaat setelah ia berhijrah menuju Madinah. Ada kerinduan yang tak
tertahankan pada Makkah yang penuh dengan kenangan. Mengapa Makkah?
Karena di sana banyak kenangan, banyak perngorbanan. Di Makkah Bilal
mendapat hidayah. Makkah menjadi saksi, rintihan sakitnya dan ucapan
fenomenalnya, “Ahad, ahad!” Begitu rindunya Bilal dengan Makkah hingga
saat masuk ke Madinah demamlah Bilal. Dari lisan Bilal, terucapkan
syair: Masih mungkinkah kubersamai malam; di lembah yang penuh
rumput idzkir dan tanaman jalil; Akankah kutemui lagi gemericik air
Mijanah; menatap langit Bukit Syamah dan Thufail yang menjulang.
Inilah syair kerinduan, pada segala
sesuatu yang hanya terdapat di Makkah, dan Madinah tidak punya. Apakah
ini syair dari seorang pejuang nasionalisme? Betulkan bila berkesimpulan
bahwa Bilal adalah seorang nasionalis Makkah?
Sebenarnya apa yang dirasakan Bilal
adalah fitrah. Dimiliki oleh setiap insan. Cinta pada kampung halaman,
tanah air tempat kita dilahirkan. Itu adalah satu kewajaran. Akan ada
berat hati yang muncul bila kelak harus meninggalkannya. Juga kalau
sudah lama dirantau ada hasrat untuk ingin kembali pulang. Sekali lagi,
ini fenomena rasa ini adalah fitrah.
Nah dari sinilah kita bisa mulai
menyeksamai upaya untuk mengaburkan makna nasionalisme. Jamak orang yang
menyamakan cinta tanah air dengan nasionalisme. Tidak nasionalis
katanya bermakna tidak cinta tanah air. Padahal tidak sesederhana itu
makna sejatinya nasionalisme. Sama juga dengan logika yang terlalu cepat
menyamakan demokrasi dan musyawarah. Seolah kalau ada musyawarah, di
situlah ada demokrasi. Di sinilah pentingnya melakukan pemaknaan kembali
tentang nasionalisme.
Kalau nasionalis ditafsirkan bebas
sebagai individu yang cinta pada tanah airnya, itu betul. Ini adalah
rasa yang fitrah, serupa dengan yang dialami Bilal. Namun, tentu akan
bermakna lain jika telah diberi imbuhan –isme di belakangnya.
Tidak bisa lagi ditafsirkan bebas, apa adanya sesuai makna bahasa.
Nasionalisme akhirnya punya arti tersendiri, menjadi satu paham yang
tidak saja berisi ajakan mencinta tanah air, tetapi lebih dari itu. Jika
mengambil pendapat Hans Kohn, nasionalisme dimaknai sebagai paham yang
mengharuskan kesetiaan tertinggi satu individu harus diserahkan pada
negara kebangsaan.
Di sinilah letak masalahnya.
Nasionalisme mengharuskan adanya penyerahan kesetiaan tertinggi pada
negara. Tentu tidak masalah jika kesetiaan ditujukan pada negara yang
konsepnya sesuai dengan Islam (baca: Khilafah Islamiyah) dan dilakukan
atas dasar dorongan akidah. Namun, jika kesetiaan itu diperuntukkan bagi
model negara sekarang, negara kebangsaan, tentu jadi masalah. Pasalnya,
Islam tidak pernah mengajarkan konsep negara yang terpecah belah
seperti saat ini. Islam telah mensyariatkan untuk membentuk unifikasi
kaum Muslim menjadi satu negara dengan satu kepemimpinan. Mulailah
tampak, titik ketidaksesuaian antara nasionalisme dan konsep persatuan
dalam Islam.
Ujung-ujungnya, segala upaya untuk
menyatukan negeri-negeri Muslim dicap sebagai langkah yang merongrong
eksistensi negara kebangsaan. Niat tulus untuk menjadikan Islam sebagai
landasan hukum dianggap perkara yang tidak nasionalis. Jadi
berhati-hatilah dalam memaknai nasionalime. Makna nasionalisme tak
sederhana yang kita kira.
Nasionalisme: Racun Berlumur Madu
Begitulah nasionalisme. Makna sebenarnya
berusaha dikaburkan, lalu disederhanakan menjadi sekadar cinta tanah
air. Pengaburan ini tentu berbahaya bagi perjuangan penyatuan kaum
Muslim. Seolah-olah nasionalisme adalah konsep teramat suci yang tak
punya cacat cela. Padahal nasionalisme laksana racun yang dilumuri madu.
Luarnya memang manis dan memikat, tetapi dalamnya pahit dan mematikan.
Yang namanya racun, tetaplah racun. Ide kufur tetaplah kufur walau
diupayakan pembenarannya menggunakan dalih dan dalil apapun. Ada-ada
saja upaya musuh Islam untuk “memaniskan” racun nasionalisme. Pertama:
Mensyariahkan nasionalisme. Misalnya saja, kerap kita disuguhi upaya
untuk mensyariahkan nasionalisme. Dikutiplah hadis singkat lagi palsu “Hubb al-wathan min al-iman
(Cinta tanah air adalah sebagian iman).” Ini bukanlah hadits, hanya
ungkapan yang tersiar lewat lisan masyarakat. Begitu pendapat fatawa al-Lajnah ad-Daimah. Ketika Syaikh al-Albani ditanyai tentang hadis ini, dalam Dha’if al-Jami’, beliau juga menyatakan ini adalah hadis mawdhu’
(palsu). Sebab, cinta tanah air itu bagian dari naluri manusia. Sama
dengan cinta jiwa dan harta. Keberadaannya tidak perlu dipermasalahkan.
Sesuatu yang sifatnya naluriah baru akan menimbulkan masalah saat
disalurkan. Makanya Islam hadir untuk memberikan tuntunan, bagaimana
cara penyaluran naluri itu, termasuk fitrah naluri cinta tanah air.
Kedua: Pendekatan empiris.
Setelah upaya mensyariahkan nasionalisme, dipakai lagi pendekatan
empiris. Katanya nasionalisme akan memperkokoh pilar negara. Padahal
senyatanya tidak begitu. Bagaimana mau memperkokoh pilar negara,
sedangkan ikatannya saja rapuh.
Menarik analisis Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Islam,
tentang karakteristik ikatan nasionalisme ini. Menurut beliau,
nasionalisme adalah ikatan lemah. Munculnya temporal, kadang-kadang
saja. Bila ada rangsangan dari luar, barulah semangat nasionalisme
bangkit. Biasanya hal yang paling mungkin untuk membangkitkan
nasionalisme adalah konflik yang mengancam. Lihatlah bagaimana heroiknya
rakyat Indonesia saat Malaysia ingin mencaplok pulau “kecil” Ambalat.
Bahkan ada yang kumandangkan jihad terhadap Malaysia. Mana ada jihad
yang menyeru membunuh sesama Muslim?
Setelah konflik dua negara ini mereda,
rasa nasionalisme pun kembali memudar. Muncul lagi ketika Malaysia
mengklaim masakan rendang sebagai miliknya. Muncul lagi para nasionalis
mempertontonkan tajinya. Setelah itu? Diam lagi. Semangat nasionalisme
hilang entah ke mana.
Jadi nasionalisme ini terasa pekatnya
jika rakyat Indonesia dibuat marah. Di satu sisi, katanya nasionalisme
bisa meperkokoh pilar kenegaraan. Namun, di sisi lain, ketika
nasionalisme ini muncul akan menimbulkan ketegangan dengan bangsa lain.
Terlalu berlebihan bila hanya karena sekerat rendang, kita harus
bergesekan dengan saudara serumpun kita. Lebih dari itu, miris rasanya
bila hanya permasalah pulau kecil, kita berperang dengan saudara
seakidah. Anehnya pula, mereka yang mengaku nasionalis bungkam. Ketika
tarian Gangnam Style membudaya dan Tarian Saman milik negeri
sendiri dilupakan. Ini menambah ketidakkonsistenan ide nasionalisme dan
para pejuangnya.
Ketiga: Pendekatan historis.
Untuk semakin memperkuat cengkeraman nasionalisme, diputarbalikkanlah
sejarah. Ada citra yang berusaha dibangun, kalau Indonesia ini merdeka
berkat perjuangan pahlawan yang nasionalis. Padahal jika kita merefleksi
sejarah, ada sesuatu yang lebih heroik dan tak pernah tercerita. Para
pejuang dulu, rela mati bukan karena semangat nasionalisme. Mereka
menerjang penjajah atas dorongan keimanan. Mereka berjihad,
mempertahankan kemuliaan agamanya.
Kalau di al-Quds, kita punya Salahuddin
al-Ayubi. Di Indonesia, ada Pangeran Diponegoro. Dua pahlawan Islam ini
punya kesamaan, sama-sama menentang dominasi kafir penjajah. Diponegoro
berjuang atas dasar cinta kepada Allah dan jihad. Ini terbukti dalam
surat seruan jihad yang dikirimkan Diponegoro untuk masyarakat Kedu. Ada
isinya yang begitu menggetarkan jiwa, “Jikalau sudah sampai surat
undangan kami ini, segera sediakan senjata, rebutlah negeri dan
‘bentuklah agama Rasul’. Kalau saja ada yang berani tidak percaya dengan
bunyi surat saya ini, maka akan saya penggal lehernya.”
Apakah ini kalimat dari seorang nasionalis? Bukan. Ini kalimat yang kental dengan seruan keimanan dari seorang jihadis.
Ini baru Diponegoro. Belum lagi kita
bicara tentang Imam Bonjol dengan Perang Paderi-nya. Tengok pula Kapitan
Pattimura yang bernama asli Ahmad Lusy, seorang pejuang Islam asal
negeri Ambon Manise. Sejarah telah “mengkristenkan” dan menghilangkan
identitas mujahidnya.
Mari kembali membaca sejarah.
Kemerdekaan Indonsia tidak lahir dari semangat nasionalisme, tetapi
muncul dari semangat jihad dengan dorongan keimanan semata.
Kita Punya Ukhuwah Islamiyah
Jelas sudah. Nasionalisme adalah ikatan
yang rapuh. Tidak layak dipakai untuk umat yang mendambakan dirinya
menjadi penguasa peradaban dunia. Sekaranglah saatnya, umat Islam
membuang nasionalisme. Allah SWT telah menganugrahkan kepada umat ini,
satu ikatan yang kuat, tak ada tandingannya. Ikatan ini muncul dari
pancaran keimanan. Itulah ikatan ukhuwah islamiyah. Kalau sudah ada ukhuwah islamiyah, untuk apalagi melirik nasionalisme?
Ukhuwah islamiyah adalah rantai
ikatan suci yang tak kenal batas wilayah. Tidak seperti nasionalisme.
Di Indonesia, nasionalisme hanya ada dari Sabang sampai Merauke.
Melewati garis batas negara, nasionalsme pun hilang. Makanya wajar-wajar
saja, Indonesia (walaupun berpenduduk Muslim terbesar dunia), tidak
galau waktu Afganistan, juga Palestina, dibombardir Israel. Tidak perlu dipikirkan mereka nun jauh di sana. Pikirkan saja negeri sendiri. Begitu kata para nasionalis. Ungkapan seperti ini tidak akan muncul jika ukhuwah islamiyah
yang dijadikan pemersatu. Seharusnya sakit Palestina adalah juga derita
Indonesia. Air mata Afganistan juga sedih Indonesia. Alasannya
sederhana, kita sama-sama Muslim. Kaum muslim ini ibarat satu tubuh,
kata Rasulullah saw., bila satu sakit maka sakit pulalah bagian yang
lain. Ukhuwah islamiyah satu-satunya ikatan yang mampu menembus
garis batas negara, garis imajinatif yang sengaja dibuat kaum kafir
untuk memecah belah umat.
Begitu rindu kita pada suasana sejarah
pada tahun 1566. Waktu itu Sultan Alaiddin Riayat Syah, penguasa negeri
Aceh Darussalam, mengirimkan surat kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni.
Suratnya berisi sebuah pengaduan bahwa armada laut Portugis sering
menganggu pedagang Muslim yang sedang berlayar; juga kerap lancang
menghadang jama’ah haji di Selat Malaka, yang hendak menuju Makkah.
Aduan ini direspon Sultan dengan mengutus bala tentara bantuan. Dikirim
secara bergelombang. Yang dikirim pun bukan tentara sembarangan, namun
500 tentara yang ahli seni bela diri, juga lihai mempergunakan senjata.
Inilah indahnya ukhuwah islamiyah.
Aceh Darussalam tak merasa sendiri saat itu. Mereka percaya, punya
saudara seiman yang siap membantu, juga saudaranya yang ada di pusat
Kekhilafahan. Khilafah menganggap Nusantara adalah bagian darinya. Tak
ada alasan untuk menolak permohonan bantuan dari sesama Muslim walau
membentang jarak yang begitu jauh. Nasionalisme, tidak akan bisa begitu.
Ikatan dan kepeduliaannya hanya sebatas wilayah negara. Sekarang
Mujahidin Suriah memanggil-manggil Dunia Islam untuk membantu. Namun,
semua diam. Lagi-lagi, logika nasionalisme yang dipakai: Itu urusan luar negeri, tak perlu terlalu dirisaukan.
Begitulah upaya musuh-musuh Islam untuk
menyuntikkan racun nasionalisme ke dalam persatuan kaum Muslim. Mereka
takut bila umat Islam kembali bersatu dengan menjadikan ukhuwah islamiyah sebagai pengikatnya dan Khilafah negaranya. Jika nasionalisme dicampakkan, lalu digantikan dengan ukhuwah islamiyah, kemudian khilafah ditegakkan, itu berarti lonceng kematian untuk semua peradaban kelam, Sosialisme maupunKapitalisme.
Insya Allah, deringan lonceng kematian itu semakin membahana dan fajar kemuliaan Islam kian tampak jelas. [Adi Wijaya/hti/bit]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar